Senin, Mei 18

Hatta Rajasa, kader PAN atau Demokrat?

Sejak Amien Rais mengumpulkan DPW-DPW se-Indonesia di Yogyakarta agaknya Hatta R mulai mendapat angin. Sebab dalam forum koordinasi itu dikeluarkan keputusan bahwa PAN akan mengajukan dua nama untuk mendampingi SBY, Hatta R dan Sutrisno B.

Akan tetapi keberpihakan forum itu kepada Hatta R sudah menjadi rahasia umum.

Kejadian-kejadian yang membuat saya bertanya-tanya apakah Hatta R kader PAN atau Demokrat adalah sebagai berikut:

1. Hatta R mengikuti korrdinasi DPW-DPW se Indonesia di yogya

2. Hatta R bersama hadi utomo juga menjadi utusan SBY untuk bertemu dengan Tifatul Sembiring dalam rangka merasionalisasi kenapa SBY memilih Boediono.

siapa sesungguhnya dirimu?
tunjukkan pada dunia

PKS, layu sebelum berkembang?

Hari-hari ketika nama Boediono mulai disebut barangkali adalah hari-hari yang penuh lelah bagi para pengurus PKS, khususnya yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pemilihan presiden.

Namun hari-hari itu juga menjadi hari-hari yang akan menetukan kelak pilihan para simpatisan PKS. Meskipun saya tidak melakukan survey/polling atau yang sejenis, tapi berita-berita di koran, suasana di kantor, bukanlah kejadian yang bersifat lokal.

PKS selama ini agaknya menjadi partai yang diyakini mampu bersikap dan bertindak berbeda dengan partai2 lain.

Namun, ada beberapa kejadian yang membuat orang2 berpikir kembali ttg penilainannya ini:

1. "Dinamisasi" yang kebablasan dalam internal PKS. Mengutip berita-berita dari www.inilah.com, ada 2 faksi di dalam tubuh PKS. Satu faksi disebut sebagai faksi "keadilan" yang merupakan representasi Hidayat N W, Tifatul S, dll. Faksi yang lainnya disebut sebagai faksi "kesejahteraan", yang dialamatkan pada Anis M, Fahri H, dll.

dari penamaan yang diberikan secara sederhana, dapat diambil makna bahwa faksi kesejahteraan adalah orang-orang yang menerapkan pragmatisme politik layaknya seperti parpol lain. Sedangkan faksi yang lain adalah melupakan anti tesa dari faksi kesejahteraan.

konflik internal yang muncul dan sering dijumpai di media ini mulai mempengaruhi para simpatisan mereka. Kesimpulan awalnya barang kali adalah, "apa bedanya PKS dengan partai lain kalau PKS juga tidak bisa meredam konflik internal.

Sebelum ada faksi-faksi ini, biasanya PKS selalu satu suara dalam merespon kejadian politik, namun setelah faksi ini muncul, selalu ada wacana yang berbeda dari masing2 representasi faksi.

2. Mungkin sebab kedua ini yang paling memalingkan wajah para simpatisan, yaitu penunjukan Boediono menjadi Cawapres oleh SBY. PKS salah satu partai koalisi yang getol melakukan konsolidasi untuk menolak kabar beerita ini. Bahkan salah satu fungsionarisnya mengatkan bahwa PKS akan mempertimbangkan koalisi dengan calon lain.

Setelah melakukan berbagai macam penolakan, akhirnya SBY bertemu dengan perwakilan PKS untuk membicarakan hal ini. Dan seperti yang kita ketahui, PKS tidak jadi menolak Boediono.

Banyak yang mengeluarkan komentar atas kejadian ini. Koran di Sumatera Utara mengatakan bahwa penolakan yang dilakukan adalah salah satu cara untuk menaikkan bargaining position. Para pengamat mengatakan PKS aneh. Anak muda mengatakan PKS kayak BBB (bukan bintang biasa) aja, putus nyambung.

Sebagian besar menunjukkan kekecewaannya.

Kita tinggal melihat saja, apakah PKS berhasil mengatasi keadaan ini.
Kalau tidak, mungkin kita akan menunggu partai lain lagi yang mampu memunculkan harapan masyarakat.

Rabu, Mei 13

Komunikasi Politik PKS, kampungan.

Kata kawanku, komunikasi politik PKS kampungan.
Aku diam dan berpikir sebentar, kenapa kawanku yang sudah "berkepala" lima (5) itu mengatakan demikian.

Andai pernyataan ini didengar pengurus PKS, apa yang akan mereka lakukan?

SBY, Favorit Intelektual Muda ?


Tulisan ini dibuat dalam rangka mencari benang merah, apakah betul bahwa kaum intelektual muda memang lebih condong kepada SBY seperti apa yang pernah disampaikan Tim Aspirasi Pemilu 2009 yang diprakarsai Yayasan Jalanmata dan diberitakan di SM hari Senin, 27 April 2009.

Terlebih dahulu penulis ingin menyampaikan kepada para pemaca apa itu makna intelektual? Apakah semua civitas akademika di sebuah perguruan tinggi dapat dikatakan sebagai kaum intelektual, dan apa sesungguhnya yang menjadi ciri dasar dari kaum intelektual.

Menurut Coser (1965), intelektual adalah orang-orang berilmu yang tidak pernah merasa puas menerima kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu berpikir soal alternatif terbaik dari segala hal yang oleh masyarakat sudah dianggap baik.

Kalau kita mencari arti kata intelektual di situs wikipedia.com, maka akan kita temukan hasil yang mengatakan bahwa Intelektual ialah orang yang menggunakan inteleknya untuk bekerja, belajar, membayangkan, menggagas, atau menyoal dan menjawab diskursus tentang berbagai- ide. Kata intelek yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari juga sering diartikan dan disamakan dengan kata cerdas. Sehingga orang yang intelek dalam kehidupan kita sehari-hari dapat disebutkan sebagai orang pintar atau orang cerdas.

Penambahan kata “muda” di belakang kata intelektual, tidak perlu dijelaskan, sebab kata tersebut jelas memberi tahu bahwa orang intelektual tersebut masih mud secara usia biologis.
Secara umum, ada beberapa hal yang menjadi ciri perilaku kaum intelektual, yaitu:
pertama, mereka terlibat dalam idea-idea dan buku-buku;
kedua, mereka mempunyai kepakaran dalam cabang ilmu tertentu, budaya dan seni;
ketiga, penulis mengutip ceramah Pramoedya Ananta Toer pada saat diundang Senat Mahasiswa Universitas Indonesia pada sekitar tahun 90-an, bahwa mereka yang dikatakan Intelektual adalah mereka yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan untuk melihat tujuan akhir.

Kaum intelektual menjadi penting karena mereka mampu mempengaruhi pemimpin-pemimpin dan militan-militan partai, gerakan sosial dan politisasi kelas sosial; kedua, mereka melegitimasi dan mempropagandakan secara halus sebuah rezim, kepemimpinan atau gerakan politik; ketiga, mereka menyediakan diagnosa atas masalah ekonomi, politik negara, kebijakan dan strategi-strategi imperialis; keempat, menguraikan solusi-solusi, strategi-strategi politik dan program-program bagi rezim, gerakan dan para pemimpin; dan terakhir mereka mampu mengorganisasi dan berpartisipasi dalam pendidikan politik partai atau aktivis gerakan.
Bahkan Sharif Shaary menegaskan bahwa seorang intelektual bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, walau apapun rintangannya. Seorang intelektual yang benar tidak boleh berkecuali, dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan.

Koran SUARA MERDEKA di Semarang memuat hasil penelitian Tim Aspirasi Pemilu 2009 yang menyebutkan bahwa SBY jadi favorit intelektual muda. Penelitian yang dilakukan pada 15-16 April 2009 kepada 131 orang intelektual muda, (terdiri atas 51,15 % laki-laki dan 48,85% perempuan) yang tersebar di berbagai fakultas di lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) mengatakan bahwa para responden menilai SBY menjadi tokoh yang paling layak dan akan dipilih mereka.

Kritik penulis atas penelitian ini adalah; pertama, apakah sebelumnya Tim Aspirasi Pemilu 2009 sudah terlebih dahulu membatasi orang-orang yang dianggap sebagai intelektual muda atau belum? Kalau sudah bagaimana metode untuk menentukan apakah seseorang itu dikatakan sebagai intelektual muda?

Kedua, andaikata sebelum penelitian ini dilakukan tidak ada kriteria yang ditentukan, akan sangat kontraproduktif untuk kualitas sebuah penelitian. Berarti dengan kata lain, Tim Aspirasi Pemilu 2009 ini menyamaratakan semua mahasiswa yang ada di Universitas Diponegoro.

Sebagai dasar memberi kritikan, bahwa tidak fair semua mahasiswa disamaratakan wawasannya dan keilmuannya, penulis ingin menyampaikan fakta yang ditemukan penulis selama 4 tahun belakangan di lembaga kemahasiswaan UNDIP, UNNES, POLINES, UNSOED, UNS, IAIN Walisongo Semarang, IKIP PGRI Semarang.

Penulis beberapa kali diundang dalam forum-forum yang diadakan berbagai lembaga kemahasiswaan dalam berbagai kesempatan. Beberapa acara tersebut merupakan acara untuk umum (semua mahasiswa boleh ikut), namun beberapa di antaranya adalah forum-forum aktivis lembaga kemahasiswaan.

Fakta yang didapati penulis adalah; pertama, tidak semua mahasiswa mengikuti perkembangan social politik kontemporer yang sedang terjadi di Indonesia. Karena dari beberapa pertanyaan yang disampaikan penulis, beberapa para mahasiswa tidak mengetahui.

Kedua, ada pernyataan secara tersirat dari beberapa mhasiswa bahwa politik itu kotor dan memuakkan. Atas dasar ini, penulis merasa khawatir bahwa salah satu narasumber yang menjadi responden dalam penelitian Tim Aspirasi Pemilu 2009 adalah mahasiswa yang mempunyai pendapat yang sama. Dan karena ewuh pakewuh, terpaksa menjawab pertanyaan dari Tim Aspirasi Pemilu 2009.

Ketiga, kritikan penulis terhadap penelitian Tim Aspirasi Pemilu 2009 yang dipublikasikan tersebut adalah karena melansir kata intelektual muda. Ada kesan bahwa semua mahasiswa adalah kaum intelektual muda. Dan untuk generalisasi ini penulis sangat tidak sepakat.
Seorang intelektual muncul karena proses pencarian ilmu yang dilaluinya, bukan karena baju yang dikenakan.


Muhith Harahap, SH. MH
085 225 115 105

Penulis adalah Mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum UNDIP,
Alumni Pasca Sarjana UNDIP,
dan Wakil Sekum KNPI Jateng.